Santiago dan Fatimah si Gadis Gurun

Fatima muncul di pintu masuk tenda. Mereka berdua berjalan-jalan di antara pohon-pohon palem. Si bocah tahu ini merupakan pelanggaran terhadap Tradisi, tapi hal itu tidak dipedulikannya saat ini.

“Aku mau pergi,” katanya, “Dan aku ingin kamu tahu bahwa aku akan kembali. Aku mencintaimu karena…”

“Jangan berkata apapun,” Fatima menyela. “Seseorang dicintai karena ia dicintai. Tak perlu ada alasan untuk mencintai.”

Tapi si bocah melanjutkan, “Aku mengalami sebuah mimpi, dan aku bertemu dengan seorang raja. Aku menjual kristal dan melintasi gurun. Dan, karena sukusuku menyatakan perang, aku pergi ke sumur itu, mencari sang alkemis. Jadi, aku mencintaimu karena segenap alam semesta bersatu membantuku menemukanmu.”

Keduanya berpelukan. Itulah saat pertama kalinya yang satu menyentuh yang lain.

“Aku akan kembali,” kata si bocah.

“Sebelum ini, aku selalu memandang gurun dengan kerinduan,” kata Fatima. “Kini akan dengan harapan. Ayahku suatu hari pergi, tapi dia kembali pada ibuku, dan dia selalu kembali sejak itu”

Mereka tidak berkata apa-apa lagi. Mereka berjalan lebih jauh di antara palempalem, dan kemudian si bocah meninggalkannya di pintu masuk tendanya.

“Aku akan kembali, seperti ayahmu kembali pada ibumu,” katanya.

Dia melihat mata Fatima berlinang. “Kamu menangis?”

“Aku ini perempuan gurun,” katanya, memalingkan wajah. “Tapi bagaimanapun, aku ini perempuan.”

Fatima kembali ke tendanya, dan, ketika siang menjelang, dia keluar untuk melakukan pekerjaan sehari-hari yang telah dia kerjakan bertahun-tahun. Tapi segalanya telah berubah. Si bocah tidak ada lagi di oasis, dan oasis ini tak akan lagi punya arti yang sama seperti kemarin.

Tempat ini bukan lagi tempat dengan limapuluh ribu pohon palem dan tiga ratus sumur, tempat para peziarah datang, merasa lega di akhir perjalanan panjang mereka. Sejak hari itu, oasis menjadi tempat yang kosong baginya.

Sejak hari itu, gurunlah yang menjadi penting. Dia memandangi gurun itu setiap hari, dan mencoba menduga-duga bintang mana yang diikuti si bocah dalam pencarian hartanya. Dia menitipkan kecupannya pada angin, berharap angin akan menyentuh wajah si bocah, dan mengatakan padanya bahwa dia masih hidup. Bahwa dia menunggunya, seorang perempuan yang menunggu seorang lelaki berani yang sedang mencari hartanya.

Sejak hari itu, baginya gurun hanya mewakili satu hal: harapan kembalinya si bocah.

***

“JANGAN MEMIKIRKAN APA YANG KAU TINGGALKAN,” KATA SANG alkemis pada si bocah saat mereka mulai berkuda melintasi pasir gurun. “Segala sesuatu sudah ditulis di Jiwa Buana, dan akan berada di sana selamanya.”

“Para lelaki lebih memimpikan pulang ke rumah daripada pergi,” kata si bocah. Dia sudah terbiasa lagi dengan kesunyian gurun.

 

*Dikutip dari Novel Paulo Coelho, The Alchemist