Seringkali aku berkata, Ketika semua orang memuji milik-ku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan, Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya, bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya, bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya, bahwa putraku hanyalah titipan-Nya.
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: Mengapa Dia menitipkan itu padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah, kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan, seolah semua “derita” adalah hukum bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih. Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Ya Allah..
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah
::
Thanks to Ms. D
***Ingin berteman atau menghubungi saya langsung? Follow me di twitter @ansharas
inspiratif !
hidup dakwah !